HOS Cokro Aminoto, Mercusuar Syareat Islam di Indonesia
"Tjokroaminoto mempunyai keyakinan yang teguh, bahwa Negara dan bangsa kita tak
akan mentjapai kehidupan jang adil dan makmur, pergaulan hidup jang aman dan
tenteram, selama keadilan sosial sepandjang adjaran-adjaran Islam belum dapat
berlaku atau dilakukan mendjadi hukum dalam Negara kita, sekalipun sudah merdeka.
Terbukti sekarang, sekalipun Negara dan bangsa kita sudah merdeka dan berdaulat
bernaung dibawah pandji-pandji sang merah putih, namun rakjat jelata jang
berpuluh-puluh jumlahnja belum merasakan kenikmatan dan kelezatan hidup dan
kehidupan sehari-harinja. Rakyat masih tetap menderita matjam - matjam kesukaran
dan kemelaratan. Kekatjauan timbul dimana-mana. Perampokan penggedoran.
Pentjulikan dan pembunuhan seolah-ilah tak dapat diatasi oleh pihak (alat)
pemerintahan.
Dikota-kota besar nampak pula kerusakan moral (budi pekerti) bangsa kita. Bukan
sadja pelajturan jang meradjalela dari kota-kota sampai desa-desa, tetapi pihak
jang dikatakan kaum terpeladjar, pemuda dan pemudi tak ada batas lagi pergaulan
hidupnja, pergaulan jang merdeka. Pergaulan jang mempengaruhi alam pikiran pada
kesesatan. Sumber-sumber pelatjuran telah menjadi pergaulan hidup yang modern.
Kemadjuan jang mentjontoh dunia barat jang memang sudah rusak. Rusak budi-
pekertinja dan rochaninja. Tak ada kendali didalam djiwa jang dapat menahan hawa
nafsunja. Inilah semuanja yang oleh ketua Tjokroaminoto dikatakan Djahiliah
modern.
Kalau alat-alat pemerintah RI jang memegang tampuk kekuasaan pemerintahan, baik
pihak atasan maupun sampai bawahan sudah tidak takut lagi kepada hukuman Allah,
jakinlah Negara akan rusak dan hantjur dengan sendirinja, sebab segala perbuatan
djahat, korupsi, penipuan, suapan dan sebagainja jang terang terang merugikan
Negara, dikerjakan dengan aman oleh mereka itu sendiri, rakjat mengerti sebab
rakjat jang menjadi korban" (Petikan kata Wondoamiseno, Sekjen PSSI 1950)
Sang raja tanpa mahkota begitulah kaum Kompeni Belanda menyebutnya, lihai cerdas,
dan bersemangat. Di takuti dan juga disegani lawan – lawan politiknya. Perjuangnya
dalam membela hak kaum pribumi saat itu benar - benar menempatkan dirinya menjadi
seoarang tokoh yang benar-benar dihormati pada saat itu. HOS Cokroaminoto lahir di
desa Bakur, Madiun Jawa Timur 16 Agustus 1883. Ia anak kedua dari dua belas
bersaudara putra dari Raden Mas Cokro Amiseno, seorang Wedana Kleco dan cucu RT
Adipati Negoro bupati Ponorogo. Terlahir dari keluarga bangsawan tak membuatnya
bersikap angkuh, justru karena itulah ia akhirnya menjadi sebuah motor penggerak
kemerdekaan bagi Indonesia disaat semua manusia tertidur dalam belaian kompeni
Belanda. Dialah tokoh politik yang berhasil menggabungkan retorika politik melawan
penjajah Belanda dengan ideology Islam, sehingga mengenyahkan penjajah dari bumi
Nusantara.
Setelah menamatkan study di Oplayding School Foor Inladishe Ambegtenaren (OSVIA),
sekolah pegawai pemerintahan pribumi Magelang. Setelah itu ia mengikuti jejak
kepriayian ayahnya sebagai pegawai pangreh praja walaupun akhirnya ia tinggalkan
karena muak dengan kebiasaan sembah jongkok yang baginya sangat melecehkan.
Tahun 1905 Cokro pindah ke Surabaya dan bekerja pada perusahaan dagang, di samping
ia juga belajar di sekolah malam Hogore Burger School. Bersama istrinya,
Suharsikin ia mendirikan rumah kost di rumahnya. yang nantinya melalui rumah
inilah Cokro menyalurkan ilmunya dalam agama, politik dan berorasi yang akhirnya
menjadi cikal bakal pembentukan tokoh – tokoh penting di Indonesia. Seperti
Soekarno yang Nasionalis, SM kartosuwirjo yang Islamis Dan Muso-Alimin yang
Komunis. R. A. Suharsikin adalah cermin wanita yang selalu memberikan bantuan
moril, selalu menjadi kebiasaannya, jika suaminya bepergian untuk kepentingan
perjuangannya, istri yang sederhana dan prihatin ini mengiringi suaminya dengan
sholat tahajud, dengan puasa, dan do’a. perbedaan idiologi dari murid - muridnya
tersebut secara tidak langsung memberikan warna sendiri bagaimana secara aktif
ide-ide, ilmu dan gagasan Cokro menghujam kedada mereka. Walaupun dengan pemahaman
yang beraneka ragam sesuai dengan latar belakang, pendidikan dan pekerjaanya
masing masing. Jadi, pertarungan Soekarno, Kartosuwirjo dan Muso-alimin sejatinya
adalah pertarungan tiga murid dari seorang guru Cokroaminoto. Hal ini
mengisaratkan bahwa adanya perbedaan tafsir para murid terhadap guru dan kernudian
mendorong kecenderungan yang berbeda pula.
Dalam beberapa hal, ide Islam Cokro lebih dipahami oleh Kartosuwirjo dengan Darul
Islamnya, ia melanjutkan perjuangan yang telah dirintis oleh Cokro yakni menuntut
Indonesia bersyariat. Dengan dasar itu ia akhirnya memproklamirkan Negara Islam
Indonesia pada 7 Agustus 1949 di Jawa Barat, sebagai reaksi atas penghianatan
Soekarno-Hatta terhadap piagam Jakarta.
Untuk merealisasikan perjuangan menuntut Indonesia bersyareat ia masuk ke dalam
Sarekat Dagang Islam (SDI) yang saat itu dipimpin oleh H.Samanhudi di Solo, sebuah
pergerakan pertama Indonesia yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Bukan Budi
Utomo seperti yang diketahui saat ini, karena SDI lahir lebih muda yakni lahir
pada tahun 1908 sedangkan SDI 1905 pendistorsian sejarah semacam ini jelas
kejahatan yang dilakukan oleh musuh – musuh Islam untuk mengkaburkan perjuangan
Indonesia bersyariat. Karena memang tujuan SDI adalah kemerdekaan dan pemberlakuan
syareat Islam. Semenjak masuknya ia kedalam SDI, SDI berubah menjadi sebuah
organisasi yang besar dan menakutkan bagi kolonial. Kemahirannya serta
kepiawaiannya berpolitik dalam menyuarakan kemerdekaan Indonesia dan memihak
kepentingan rakyat membuat SDI begitu di gandrungi Rakyat pribumi. Terlebih
setelah SDI berubah menjadi SI dan ia menjadi pemimpin SI. Lewat Cokro tujuan SI
mulai di perjelas yakni kemerdekaan Indonesia dan pemberlakuan Syareat Islam bagi
segenap lapisan rakyat.
Karena aktifitas politiknya Belanda akhirnya menangkap Cokro pada tahun 1921
karena dikhawatirkan akan membangkitkan semangat perjuangan rakyat pribumi
walaupun akhirnya dibebaskan pada tahun 1922, sebuah cobaan yang lazim diterima
para penegak syariat islam di seluruh dunia. Pada tanggal 14-24 juni 1916
diadakanlah kongres Nasional pertama di Bandung. Di dalam kongres tersebut Cokro
mengupas tentang pembentukan bangsa dan pemerintahan sendiri. Sebuah langkah yang
sangat berani saat itu karena bagi rakyat pribumi kemerdekaan adalah hal yang tabu
untuk disampaikan. Suatu langkah politik yang benar-benar berani. Cokro membangun
opini rakyat yang belum mengerti politik untuk berpihak terhadap perjuanganya.
Yaitu menuntut Indonesia merdeka dan bersyariat Islam.
Di tengah pemerintah kolonial yang masih kuat apalagi saat itu Belanda masih
menerapkan peraturan Reegerings Reglement(RR) sebuah peraturan yang berisi
larangan berpolitik, berkumpul untuk membahas perjuangan kemerdekaan. Yang
otomatis Cokro saat itu harus berhadapan dengan dua lawan yaitu Belanda dan
Pangreh Praja yang menjadi kaki tangan Belanda. Pada tahun 1924, Cokro mulai aktif
dalam komite –komite pembahasan kekhilafahan yang dicetuskan pemimpin politik
Wahabiah Arab, Ibnu Saud. Sebuah langkah untuk memperkuat barisan menuju
kemerdekaan dan kekhalifahan dunia.
Bagi Cokro, Islam adalah sesuatu yang harus di perjuangkan dan di persatukan,
sebagai dasar kebangsaan yang hendak di proses menuju Indonesia. Tipikal Cokro,
identik dengan AI-Afghani yang juga merupakan tokoh politik Pan-Islamisme
(kebangkitan Islam). Cokro dan Afghoni juga sama-sama mengalami kegagalan dalam
perjuangan Pan-Islamismenya. Namun, arti penting keduanya bukan pada kemenangan
atau kekalahan. Keduanya menjadi penting karena menggulirkan momentum perubahan
pemikiran dalam Islam. Keduanya juga menjadi ruh perjuangan bagi kepentingan politik Islam.
Ruh Cokro akan masih terus bergerak menjadi spirit perjuangan ketika islam di
artikulasikan sebagai penggerak yang aktif, tidak statis. Yang mengatakan ,"
Setinggitinggi ilmu, semurni-murni tauhid , sepintar-pintar siasat". Beliau wafat
pada tanggal 17 Desember 1934 di Yogyakarta, dan dimakamkan di TMP Pekuncen,
Yogyakarta. (Saif).
(disarikan dari "H.O.S TJOKROAMINOTO, Hidup dan Perdjuangannja, karya Amelz, Bulan
Bintang)
Sumber : al-ikhwah Edisi 3 Tahun I ~ Maret 2009 M / Rabiul Awwal 1430 H
Komentar
Posting Komentar