Sebuah Nama

Kulihat Merenung  liangan air dari atas atap rumahku. Semakin dingin kurasakan dan semakin membekukan ucapku. Semua yang kurasakan terasa terkukung dalam bisu. Kupejamkan mataku dan pikirku mulai berlari-lari melewati waktu. Mengaduk-ngaduk perasaanku. “ Kebencian “ , “ amarah”, “ kepedihan “  membaur dan menelan semua diriku yang bijak. Diriku yang selalu mampu berdiri meski diatas batangan duri kesedihan.

Kumenemukannya lagi, diriku yang selama ini kusembunyikan dalam ketegaran dan ketidak pedulian. Diriku yang tertutup zirah karena lemah dan tak berdaya. Rasanya ingin kutelan semua kebodohan yang ada di bumi. Ingin sekali kumenjelma menjadi setan kejam yang memusnahkan kebahagiaan di muka bumi. Ingin sekali kucekik orang-orang yang mencibirku, menghinaku seolah mereka kenal aku. Ingin kuhunuskan pedang di dada mereka yang serta-merta menertawakanku didalam hati mereka. Ingin rasanya ku berteriak mengalahkan badai, memporak – porandakan seluruh bumi. Dan tertawa sekencang mungkin karena puas melakukannya. Hentakan bunyi yang terdengar tak akan membuatku diam. Menulikan telinga dengan beragam suara. Jangan salahkan aku yang terlahir dibumi ini. Sebenarnya akulah iblis yang menjelma sebagai manusia. Jangan dekati aku, atau kamu akan terluka. Pikirku berteriak…

Namun saat kubuka mataku kulihat sebuah nama yang ternyata menyurutkan semua kegilaanku, membawaku menepi dari pengaruh hitam yang kutebarkan sendiri. Menggenggam hatiku dan mendinginkannya. Menyurutkan kemarahanku dan membawaku terbang kehamparan ladang hijau yang dipenuhi beraneka ragam bunga. Memang hatiku tak sepenuhnya dingin, tapi cahaya itu semakin besar…. Akankan mengalahkan keangkuhan dan gelapnya pikirku?

Aku mulai diam dan berfikir. Kemudian aku yakini. Aku yakin itu bisa. Karena nama itulah yang memberiku kehidupan. Memberiku ruang untuk bermimpi dan berjalan dalam waktu yang aku sendiri tak tahu kapan akan berakhir. Aku yakin segala kesedihan, kegundahan, dan amarah itu adalah refleksi sebuah rindu yang terlampau besar dariku padaNya. Karena aku telalu kerdil dalam dunia yang terlampau besar. Diriku yang terlalu memunafikkan segala yang yang nyata dan sempurna. Bahwa waktu yang telah kulewati itu sempurna, meski banyak hal yang aku sesali karena kelalaianku. Bahwa kisah hidupku itu teramat sempurna, karena telah diatur sedemikian rupa tanpa celah, meski aku sering mengeluh tentang banyak hal. Tentang diriku yang tidak cantik, tidak pintar atau tidak kaya, tentang diriku yang tak seperti yang lain. Padahal aku sepenuhnya tahu, bahwa aku tercipta sempurna. Dengan badan yang lengkap, keluarga yang lengkap dengan ayah,ibu, adik beserta keluarga besar yang menyayangiku , sahabat – sahabat baik disekitarku.

Memang aku terlalu angkuh untuk mengerti dan menerima. Padahal aku paham dan seharusnya menerima. Mungkin inilah kesempurnaan yang Dia coba jelaskan padaku. Bahwa ketidaksempurnaan yang aku pikirkan sebenarnya melengkapi diriku. Bahwa ketidaksempurnaan yang aku pahami sebenarnya adalah kesempurnaan sebuah penciptaan. Sehingga aku sadar bahwa aku terlalu kecil untuk mengaku sebagai penguasa, bahkan untuk menguasai diriku, menguasai nasibku dan menciptakan segala yang kuinginkan. Mungkin sebenarnya yang terjadi hanyalah sebuah scene kehidupan yang telah tertulis dan aku hanya pelaku dalam kisah yang Dia buat. Mungkin aku hanya bisa berusaha untuk merubah catatan itu, yang aku sendiri tak pernah tahu dimana letak kenyataannya sehingga dinamakan nasib atau takdir. Aku sebenarnya tak sepenuhnya tahu apakah aku ditakdirkan pintar, namun aku berusaha mencari tahu dan belajar untuk menjadi orang yang pintar. Meski aku sadari bahwa aku terlalu bodoh untuk orang lain. Terlalu banyak orang pintar, sehingga terlalu munafik mengatakan diri sendiri pintar. Padahal aku seharusnya tahu bahwa Dia telah menciptakanku pada batas kepintaran yang cukup dan sempurna. Meskipun kepintaran itu dapat berubah setiap waktu, tergantung pada episode mana aku bisa meraihnya. Dan tentu saja Dia berhak mengambilnya, bila Dia mau. It’s perfect….

Terlalu banyak nikmat yang tak terhitung, untuk bisa coba tak aku pedulikan. Rasa bahwa semua kurang dan kurang menyembul bagai bisul diantara ruang hatiku. Menyakiti kearifan yang Dia ciptakan pada sebagian diriku yang lain. Sehingga banyak rasa syukur yang terkikis dan terlupakan.

Kerinduan itu tercipta mungkin karena kelemahanku sendiri. Tak mampu memenuhi catatan biru sang malaikat. Yang ada, banyak catatan merah yang menandakan kelalaianku, kebodohanku dalam memaknai waktu.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Papatah Kolot Baheula

Meraih Cita-cita Menjadi Programer

Pantun Lucu Bahasa Sunda | Sisindiran Basa Sunda